kutipan

"percayalah bahwa suatu keinginan akan terwujud karena adanya motivasi & obsesi"

Selamat Datang

Selamat datang di blog saya :))

Kamis, 06 Januari 2011

Mimpi bertemu Rasulullah saw

Jika kita bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad saw, apakah kita bisa mempercayainya? Siapa yang berani menjamin kalau orang yang bertemu dengan kita dalam itu adalah Rasulullah saw? Padahal, agama Islam ini sudah lengkap dan tidak membutuhkan lagi kepada mimpi-mimpi semacam itu.
Oleh karena itu, ada yang mengatakan bahwa hadits yang menerangkan masalah ini hanya dapat diterapkan oleh para sahabat saja, sebab hanya mereka yang bertemu sendiri dengan Rasulullah saw. Kalau kita yang bermimpi bertemu dengan Rasulullah saw, maka kita tidak akan tahu secara pasti apakah orang itu benar-benar Rasulullah saw atau bukan.
Hadits tentang mimpi bertemu Rasulullah saw, beliau bersabda “Barang siapa bermimpi melihatku di dalam tidurnya, maka sebenarnya ia telah melihatku, sebab setan tidak dapat menyerupaiku” (HR. Muslim dari Abu Hurairah ra.
Jadi, hal-hal seperti yang telah disebutkan di atas tidak dapat dijadikan sebagai sumber hukum. Misalnya, keterangan dalam hadits di atas, bahwa “Setan tidak dapat menyerupaiku”. Apakah maksudnya?
Oleh karena itu, ketika Ibnu Sirin mendengar ada orang yang menyatakan telah melihat Rasulullah saw, maka beliau bertanya, “Coba ceritakan sifat-sifat Rasulullah saw kepadaku”
Orang itu menjawab, “Orang itu begini, tingginya segini, besarnya segini… dan seterusnya”. Kalau sifat-sifatnya yang telah disebutkannya benar, maka baru dapat dikatakan ia telah melihat Rasul.
Demikian juga dengan Ibnu Abbas, ketika ada orang yang menyatakan seperti itu, beliau mengatakan, “Coba ceritakan sifat-sifatnya”. Kemudian menjawab, “Beliau seperti Hasan bin Ali”. Maka Ibnu Abbas membenarkannya, sebab Hasan adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah saw.
Jadi, tidak mungkin semua orang dapat mengaku telah bertemu dengan Rasulullah saw. Sebagian ulama mengatakan bahwa mimpi bertemu dengan Rasulullah saw tidak mungkin terjadi kecuali pada zaman sahabat. Karena hanya mereka yang mengerti tentang Rasulullah saw. Sedangkan kita tidak pernah mengetahuinya.
Dalam mazhab Ibnu Hazem, diceritakan Umar pernah bermimpi bertemu dengan Rasulullah saw. Dalam mimpi itu, Rasulullah saw berpaling darinya. Kemudian ditanya oleh Umar, “Wahai Rasulullah, kenapa anda berpaling dariku?”. Rasulullah saw menjawab, “Karena engkau mencium istrimu, pada saat engkau sedang berpuasa”.
Ibnu Hazeem mengatakan, “Mimpi ini tidak dapat dijadikan hukum”. Dalil yang lebih penting adalah kisah Umar dan Rasulullah saw ketika Umar bertanya tentang hukum mencium istir pada saat berpuasa. Sebagaimana diceritakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ahmad berikut ini:
Umar bin Khattab ra pernah mencium isterinya ketika sedang berpuasa, lalu beliau mendatangi Rasulullah saw dan bertanya, “Wahai Rasulullah, saya telah melakukan perbuatan besar pada hari ini, yaitu mencium isteriku padahal aku berpuasa”.
Lalu Rasulullah saw balik bertanya, “Bagaimana menurutmu jika engkau berkumur ketika sedang berpuasa, apakah membatalkan puasa?” Umar menjawab, “Tidak”. Rasulullah bersabda, “Demikian pula dengan mencium”.
Maksudnya sekedar mencium dibandingkan dengan jimak (bersetubuh) bagaikan berkumur dibandingkan dengan meminum. Berkumur tidak membatalkan puasa.
Dalam riwayat Imam Syatibi, Khalifah Al-Mahdi Al-Abbasi pernah didatangi oleh seorang ahli fikih yang bernama Al-Qhadhi Syarif Bin Abdillah. Al-Mahdi tidak menyambut secara baik, bahkan disambut dengan marah dan disuruh untuk mengambilkan pedang. Syarif bin Abdillah menjadi bingung. Ketika ditanya kenapa, Al-Mahdi menjawab “Aku bermimpi melihatmu berpaling dariku dan ketika aku bertanya kepada juru takwil mimpi, mereka mengatakan bahwa engkau memperlihatkan ketaatan tapi menyembunyikan permusuhan”. Pada saat itu Syarif bin Abdillah berkata, “Mimpi anda bukanlah mimpi Khalilullah Ibrahim as, dan juru takwil mimpi anda bukanlah Nabi Yusuf as”.
Mimpi Nabi Ibrahim as adalah ketika diperintahkan untuk menyembelih anaknya dan takwil Nabi Yusuf adalah ketika menakwilkan mimpi raja. Ia melanjutkan, “Mimpi anda tidak berhak untuk membunuh seorang mukmin”. Akhirnya Al-Mahdi pun mengalah.
Diceritakan juga oleh Imam Ghazali, ada sekelompok orang yang ingin membunuh seseorang. Ketika ditanya kenapa?, mereka menjawab, “Ada orang saleh yang melihat iblis dalam mimpinya. Ia telah masuk ke dalam beberapa negeri tapi tidak masuk ke dalam sebuah negeri. Ketika ditanya kenapa tidak masuk negeri tersebut? Iblis menjawab, “Saya tidak perlu masuk, karena di sana sudah ada seseorang syekh (ahli agama) yang mengatakan bahwa Al Quran itu makhluk”.
Lalu ia bertanya, “Kalau Iblis berfatwa kepadamu dalam keadaan sadar (tidak mimpi) ahwa aku mengatakan bahwa Al Quran itu mahluk apakah kalian mempercayainya?”. Mereka menjawab, “Tidak”. Kemudian ia melanjutkan, “Demikian juga fatwanya dalam tidur, tentu tidak lebih utama untuk dipercaya”
Berdasarkan semua itu, maka Hasan Al Banna bermaksud untuk menyelesaikan masalah agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam memahami agama. Bahwa, hal-hal seperti di atas tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum. Mungkin bisa dijadikan bahan pertimbangan, tapi itu pun seharusnya dalam perkara-perkara yang hukumnya mubah dan syaratnya tidak bertabrakan dengan hukum syariat. Mimpi-mimpi yang biasa dan sederhana, maka hal ini tidak apa-apa, asal tidak berhubungan dengan hukum syara’ seperti mubah, halal, haram, makruh dan seterusnya. Dalam perkara-perkara yang hukumnya mubah, maka tidak apa-apa, seperti mimpi melihat barang bagus di depan rumah atau mimpi melamar orang lain, dan lain sebagainya.
Siip? LIKE :)

Tidak ada komentar:

Copy Right @ Semua yang di tulis di atas adalah hak milik Ali Supratman :)